ZAKAT USAHA PERTANIAN DAN PERKEBUNAN MODERN

Usaha pertanian dan perkebunan saat ini tentu berbeda dengan pertanian dan perkebunan pada masa Rasulullah `. Sistem pertanian dan pengelolaan pertanian pada masa Rasulullah ` masih sangat sederhana. Sebagian besar pengelolaannya masih bersifat individu dan belum berbentuk korporasi besar. Sementara pertanian dan perkebunan saat ini banyak yang bernaung di bawah perusahaan. Jenis pertanian dan perkebunannya juga tidak terbatas pada bahan makanan pokok.

  1. Zakat Hasil Pertanian dan Perkebunan Untuk Bisnis

Tidak semua pertanian dan perkebunan bahan

makanan atau buah-buahan layak dikonsumsi. Saat ini, banyak sekali manfaat perkebunan yang diperoleh dengan cara menjual hasil pertanian dan perkebunan tersebut. Misalnya, perkebunan karet, jati, akasia, kakau (coklat), dan kelapa sawit. Hal ini disebabkan seseorang tidak dapat menikmati karet secara langsung. Begitu pula hasil kelapa sawit, seseorang menaman tanaman tersebut bukan untuk mengonsumsi hasilnya, melainkan untuk menjual hasilnya.

Ulama berselisih pendapat tentang zakat atas pertanian dan perkebunan yang memiliki dua kriteria semacam itu, yaitu ada unsur perdagangan dan unsur hasil buminya. Dalam hal ini, ada dua pendapat sebagai berikut.

  1. Zakatnya adalah zakat perkebunan. Nilai zakatnya 10% dari hasil yang diperoleh setelah mencapai nisab senilai dengan 653 Kg gabah kering giling (setara dengan 522 Kg beras). Pendapat ini dinyatakan oleh ulama Malikiyyah, ulama Syafi’iyyah dalam pendapat yang terbaru (qaul jadid), dan salah satu pendapat dalam mazhab Hanabilah.
  2. Zakatnya adalah zakat perdagangan. Pendapat ini dikemukakan oleh ulama Hanafiyyah, ulama Syafi’iyyah, dan sebagian kalangan dari Hanabilah.

Pendapat yang kuat dari dua pendapat di atas adalah pendapat yang pertama. Sebab, karakter yang melekat dan utama yang ada pada perkebunan tersebut adalah hasil bumi. Dengan demikian, tentu yang menjadi sandaran penghitungan zakatnya adalah berdasarkan zakat hasil bumi.

  • Biaya Operasional

Mengenai biaya operasional, ada dua pertanyaan

yang perlu diketahui jawabannya. Yaitu, apakah biaya operasional mengurangi kewajiban zakat? Dan, apakah utang untuk operasional mengurangi kewajiban zakat?

Dalam hal ini terjadi polemik antara ulama. Hal ini dikarenakan tidak ada nas (teks keagamaan dari Al-Quran maupun hadits) yang secara eksplisit (terang-terangan) menjelaskan persoalan tersebut. Oleh karena itu, ulama kontemporer menggali pendapat para sahabat dan ahli fikih klasik.

  1. Biaya operasional dan utang tidak mengurangi kewajiban zakat. Sebagai contoh, bila nilai hasil panen dengan pengairan dari sungai atau air hujan mencapai Rp 100 juta, maka zakatnya 10%, yaitu senilai Rp 10 juta. Atau, bila pengairannya menggunakan biaya, maka zakatnya menjadi 5%, yaitu senilai Rp 5 juta. Yang berpendapat ini adalah ulama Syafi’iyyah, Zahiriyyah, Malikiyyah, Ahmad (dalam satu riwayatnya), Hanafiyyah, al-Auza’i, dan Abdurrahman as-Sa’di. Mereka berhujah (memberikan argumentasi) Rasulullah ` mengutus beberapa sahabat untuk mengambil zakat dari hasil pertanian umat muslim saat itu. Saat menarik zakat, para petugas tidak bertanya tentang utang atau biaya operasional yang dikeluarkan oleh petani.
  2. Biaya operasional dan utang untuk kebutuhan pokok pertanian dan perkebunan menjadi pengurang kewajiban zakat. Pendapat ini mengikuti pandangan ‘Ata’, Hasan, dan an-Nakha’i.

Dari kedua pendapat di atas, pendapat pertama merupakan pendapat yang kuat. Sebab, penambahan biaya dalam hal itu berfungsi menambah penghasilan pertanian atau perkebunan.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *